23 Juli 2025

7 seni mendidik anak dengan cinta tanpa drama

Buku 7 seni mendidik anak dengan cinta tanpa drama, merupakan buku untuk ayah bunda, para orang tua, guru dan kakak yang sedang belajar, sedang letih tapi tak pernah benar-benar menyerah untuk membersamai tumbuh kembang anak. Kita ini bukan orang tua dari teori parenting, bukan juga dari keluarga Instagramable yang sarapan pakai granola dan anak-anaknya bisa bahasa Prancis sejak usia lima. Kita ini… ya kita. Orang tua sungguhan. Yang kadang masih debat soal mie instan boleh dua kali seminggu atau cukup sekali seumur hidup.Yang kadang kehabisan sabar di tengah kemacetan dan tangisan yang pakai efek surround 360 derajat.Tapi meski begitu… kita masih di sini. Masih belajar. Masih bertahan. Itu… sudah luar biasa. Buku ini, tidak lahir dari seminar elite atau ruang kuliah ber-AC.Ia lahir dari dapur yang harumnya kadang bukan rendang, tapi… popok.Dari ruang tamu yang lebih sering jadi lapangan futsal dadakan, dan meja makan yang sudah lima hari dijadikan kantor remote working. Kami tidak datang untuk menggurui. Kami hanya ingin menemani.Menjadi suara yang berbisik lembut:“Tenang, kamu nggak sendirian. Nggak semua orang tua tahu caranya, tapi yang bertahan dan terus belajar… itu yang paling keren.” Karena jadi orang tua itu memang kayak naik roller coaster.Tapi bukan yang di Dufan ya, yang ini kadang relnya copot setengah.Kita udah naik, nggak bisa turun. Nggak ada tombol undo. Tapi kabar baiknya:Masih selalu ada ruang untuk pelan-pelan belajar. Untuk jatuh dan bangkit. Untuk marah dan memeluk. Untuk khilaf dan minta maaf tanpa gengsi. Anak-anak tidak mencari orang tua yang tahu semua teori.Mereka hanya butuh kita yang benar-benar hadir. Yang mau meluangkan lima menit untuk mendengar, bukan langsung menghakimi.Yang tahu bahwa satu pelukan bisa jauh lebih ampuh dari sepuluh ceramah. Mereka tidak ingat berapa kali kita marah, tapi mereka ingat saat kita bilang,“Ayah/Bunda bangga sama kamu.”Itu akan mereka simpan. Rapat-rapat. Seumur hidup. Kadang kita iri lihat orang tua lain yang tampak serba sempurna.Anaknya sarapan oatmeal, les piano, olahraga pagi, lalu bilang, “Terima kasih sudah membuatkan sarapan, Bunda.” Sementara kita? Baru buka mata, dapur sudah kayak habis disatroni kawanan gorila lapar. Anak rebutan remote. Kita rebutan sinyal.Suami sibuk sendiri. Istri sibuk semuanya. Kadang malah muncul perasaan:“Yang butuh parenting bukan anakku, tapi bapaknya.” Hehe… ya begitu lah hidup. Tapi tenang.Tidak ada keluarga yang benar-benar sempurna.Yang ada hanyalah keluarga yang saling berjuang.Kadang sambil manyun. Kadang sambil ngantuk. Tapi tetap maju. Ayah Bunda… kita ini bukan orang tua dari negeri dongeng.Kita ini petarung sabar dari negeri kenyataan.Yang mungkin tidak punya ijazah parenting, tapi punya satu hal yang tak tergantikan:Cinta yang nggak pernah selesai. Buku yang kami siapkan, bukan solusi instan.Ia hanya pengingat kecil… bahwa cinta itu cukup.Cukup hadir. Cukup mendengar. Cukup memeluk. Kalau suatu hari Ayah atau Bunda merasa gagal…Berhentilah sejenak. Tarik napas.Lihat wajah anak kita.Mereka tidak ingin kita sempurna. Mereka cuma ingin kita tetap di sini. Karena kadang, satu pelukan kecil bisa bikin dunia kembali utuh. Ayah Bunda hebat bukan karena tahu segalanya,Tapi karena masih ingin terus belajar dan mencintai… walau letih dan nyaris patah. Mengasuh bukan proyek semalam. Ini ibadah. Ini seni.Dan seperti seniman, kita tak perlu lukisan yang sempurna, cukup lukisan yang jujur. Maka mari terus menggambar, Ayah Bunda. Dengan sabar, dengan humor, dengan doa. Meskipun kadang harus menyuapi anak, ngetik laporan, sambil… nahan pipis. Parenting bukan ilmu roket.Tapi seni. Seperti semua seniman…kita tak selalu rapi. Tapi kita selalu jujur. Jadi teruslah menggambar, Ayah Bunda. Dengan cinta.Dengan tawa.Dengan pelukan-pelukan kecil yang akan mereka ingat…bahkan saat kita sudah tak bisa lagi memeluk. Ayah Bunda, semoga, suatu hari nanti, anak-anak kita bisa berkata… “Aku nggak punya orang tua yang sempurna, tapi mereka adalah rumah paling nyaman yang pernah aku punya.”

7 seni mendidik anak dengan cinta tanpa drama Read More »

Sebuah Pelajaran untuk Lelaki yang Pernah Terluka

Hidup tak pernah lepas dari luka, terlebih bagi para pria. Kita diajarkan sejak kecil untuk kuat, tahan banting, tidak cengeng. Padahal, ketika dikhianati oleh orang yang paling kita percaya, baik sahabat, saudara, pasangan, atau bahkan keluarga, kita juga bisa hancur. Tidak selalu terlihat di luar, tapi retaknya terasa di dalam. Dalam masa-masa seperti itu, kita membutuhkan contoh. Sosok yang pernah berdiri dalam kekecewaan namun tetap memaafkan dengan elegan. Rasulullah ﷺ adalah teladan sejati. Ketika Maaf Tak Selalu Harus Dekat Satu kisah yang jarang dibahas secara emosional adalah kisah Rasulullah ﷺ dengan Wahsyi bin Harb — pembunuh Sayyidina Hamzah, paman beliau yang sangat dicintai. Hamzah gugur dalam kondisi mengenaskan di medan Uhud, dan Wahsyi adalah algojo yang diupah untuk membunuhnya. Tahun-tahun berlalu. Wahsyi masuk Islam, datang kepada Rasulullah ﷺ dengan penuh rasa bersalah, mengakui kesalahannya, dan memohon ampun. Rasulullah ﷺ menerima keislamannya, memaafkannya — namun beliau berkata dengan kalimat yang begitu manusiawi: “Aku memaafkanmu… tetapi jangan kau tampakkan wajahmu di hadapanku.”(HR. Abu Dawud no. 2686) Ucapan itu bukan tanda dendam, apalagi kebencian. Itu cara beliau menjaga hatinya dari luka yang terus menganga. Karena setiap kali melihat Wahsyi, beliau teringat pada jasad Hamzah yang tercabik. Menjaga Jarak Bukan Berarti Tidak Memaafkan Ada banyak pria yang salah paham dengan konsep memaafkan. Mengira bahwa maaf berarti harus kembali akrab, harus berinteraksi lagi, harus mengobrol seperti dulu. Padahal tidak selalu demikian. Memilih menjaga jarak justru bisa menjadi bentuk penghormatan terhadap luka kita sendiri. Kita butuh ruang untuk sembuh. Tidak semua orang layak kembali hadir dalam lingkaran yang sama. Pria dewasa sebaiknya tahu: memaafkan adalah tanda kematangan, menjauh adalah bentuk perlindungan diri. Jika Pernah Dikhianati… Biarkan Sakit Itu Ada Untuk kamu yang pernah dikhianati oleh sahabat, saudara, pasangan, atau siapa pun yang membuat hidupmu sempat tumbang — maafkanlah. Bukan untuk mereka, tapi untuk ketenangan batinmu. Tidak perlu memblokir semua akun mereka. Tak usah hapus semua kenangan. Biarkan mereka tetap ada. Biarkan sesekali story-nya muncul. Rasakan sakitnya. Biarkan hatimu perih. Karena dari situlah proses penyembuhan dimulai. Percayalah, seiring waktu, rasa itu akan menipis. Pandanganmu terhadap mereka akan berubah. Rasa sesak itu perlahan akan hilang. Dan pada akhirnya… kamu akan bisa tersenyum meski mereka lewat di layar tanpa memengaruhimu lagi. Itu tanda bahwa energi positif dalam dirimu sedang tumbuh. Bahwa kamu tidak lagi bergantung pada validasi masa lalu. Pria Sejati Tidak Mengemis untuk Dihargai Jangan kejar penjelasan dari orang yang tidak menghargaimu. Tak perlu mengemis pengakuan dari mereka yang memilih meninggalkanmu saat kamu butuh. Hargai dirimu sendiri dengan mengambil langkah menjauh. Penuh tenang. Tanpa drama. Karena menjadi pria sejati bukan tentang menjadi keras, tapi tahu kapan harus melepaskan dan kapan harus melindungi diri dari kerusakan yang sama. Penutup: Maaf Itu Wajib, Tapi Mendekat Itu Pilihan Hidup akan selalu memberi luka. Tapi kita selalu bisa memilih bagaimana merespons. Memaafkan adalah bentuk kekuatan. Menjaga jarak adalah hak. Rasulullah ﷺ sudah memberi contoh. Memaafkan Wahsyi, tapi tidak memaksakan diri untuk bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ada luka yang terlalu dalam untuk diabaikan, dan itu tidak apa-apa. Untuk para pria yang sedang belajar menata hati: kamu tidak lemah karena pernah hancur. Justru kamu kuat karena tetap memilih damai. Daftar Pustaka & Referensi

Sebuah Pelajaran untuk Lelaki yang Pernah Terluka Read More »